Pujawali, Upacara Rangkaian Tradisi Perang Topat

BUDAYA LOMBOK - Upacara Pujawali, di berbagai tempat lain pelaksanaannya dilakukan sepenuhnya oleh umat Hindu. Namun khusus di Pura Lingsar, upacara pujawali setempat dirangkai dengan tradisi perang topat. Sebuah tradisi yang pelaksanaannya didominasi masyarakat suku Sasak–penduduk asli Lombok, bersama masyarakat dari suku Bali yang telah turun temurun bermukim di Lombok.

Perang topat atau ketupat berlangsung bersamaan dengan upacara pujawali. Prosesinya pun tak bisa dipisahkan dari pelaksanaan upacara tahunan itu. Karena itu, hajatan besar ini dipuput Ida Pedanda (Pendeta Hindu). ”Kalau tak ada pujawali, perang topat tak kan dilaksanakan karena perang topat satu rangkaian dengan pelaksanaan pujawali. Prosesi ini tak bisa dipisah-pisah,” kata I Gde Mandia, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Nusa Tenggara Barat.

Setelah umat Hindu ngaturang bakti dan ngelungsur amertha, prosesi perang topat mulai dilaksanakan, diawali dengan mengelilingkan sarana persembahyangan–purwadaksina. Prosesi ini dilaksanakan di dalam areal Pura Kemaliq. Sebagian besar pesertanya berasal dari suku Sasak. Tokoh-tokoh dari kedua suku–Sasak dan Bali, turut serta dalam prosesi itu.
Upacara Pujawali di Lombok
Upacara Pujawali (c) Google

Mereka mengitari areal dalam Kemaliq. Sekelompok tarian batek baris–tarian khas sebagaimana layaknya prajurit Belanda tempo doeloe lengkap dengan bedilnya juga beraksi selama upacara itu. Ada juga kesenian tradisional gendang beleq.

Purwadaksina dilakukan beberapa kali. Setelah itu, sarana persembahyangan yang dikekelilingkan itu ditaruh pada tempat yang telah disediakan di dalam Pura Kemaliq. Di sini kembali ada prosesi yang dipimpin langsung pemangku dari suku Sasak. Bertepatan dengan roro’ kembang waru (gugurnya bunga pohon waru)–sekitar jam lima sore, perang topat dimulai.
Sebagaimana perang, peserta pun tampak seperti layaknya berperang. Namun, bukan saling pukul atau saling tusuk. Yang menjadi ”peluru”, juga bukan peluru asli atau pun batu, melainkan ketupat yang sebelumnya menjadi sarana upacara. Ketupat dilemparkan-lemparkan kepada siapa saja. Tak ada yang cedera.
Dengan penuh kegembiraan, peserta upacara terlibat dalam ”peperangan” yang berlangsung beberapa menit itu. Seusai berperang, ketupat yang dijadikan peluru lalu dipungut kembali oleh peserta untuk dibawa pulang. “Ketupat ini diyakini sebagai berkah dan ditebar di sawah-sawah penduduk karena dipercaya dapat menyuburkan tanaman padi.
Event Budaya Perang Topat di Lingsar Lombok (c) berbagifun.blogspot.com
Dalam perang topat, wanita yang sedang haid tak boleh mengikuti. Sehari sebelumnya ada upacara permulaan kerja atau “penaek gawe”. Ada lagi acara “mendak” alias upacara menjemput tamu agung alias roh-roh gaib yang berkuasa di Gunung Rinjani dan Gunung Agung. Kemudian ada pula penyembelihan kerbau. Ada sesajen berupa jajan sembilan rupa, buah-buahan, dan minuman.

“Lempar-lemparan ketupat itu ditingkahi bunyi kul-kul (kentongan) selama sekitar satu jam. Ketupat itu diperebutkan. Yang belum dilemparkan tak boleh dibawa pulang. Kendati ketupat itu sudah penyok, tetap dipunguti orang.

Perang topat bertujuan untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, terutama bagi petani anggota Subak—sistem irigasi pertanian. Perang topat tak lepas dari legenda. Konon di Lombok Barat dulu ada Kerajaan Medain. Raja Medain punya anak bernama Raden Mas Sumilir yang bergelar Datu Wali Milir. Suatu ketika ia menancapkan tongkatnya di tanah Bayan. Saat tongkat itu ditarik, air pun muncrat, melaju deras. Dalam bahasa Sasak, melaju artinya langser atau lengsar. Desa itu pun lalu diberi nama Lingsar.

Entah bagaimana, Sumilir hilang di situ. Atas musibah itu, seisi istana dan warga sedih. Kesedihan itu berlarut hingga dua tahun. Buntutnya, semua orang melupakan urusan kehidupan. Suatu ketika keponakan Sumilir, Datu Piling, menemukan pamannya itu di lokasi mata air tadi. Dalam pertemuan itu disebutkan, kalau mau menemui Sumilir, hendaklah datang ke mata air itu.

Maka Datu Piling pun memerintahkan pengiringnya untuk menyambut pertemuan itu. Ketupat beserta lauknya dipersiapkan. Pertemuan pun terjadi sekitar pukul 16.00. Setelah itu Raden Mas Sumilir kembali menghilang. Tapi sejak Sumilir menghilang kedua kalinya, warga Lingsar kembali menikmati kemakmuran. Sumber air melimpah, dan siap dipakai mengairi sawah.

“Perang ketupat pun lantas dilestarikan sebagai ungkapan rasa syukur, menandai saat dimulainya menggarap sawah,”
kata Subhan.

Sebagai tempat wisata, Pura Lingsar cukup menarik. Dengan jarak tempuh dari Kota Mataram kurang dari setengah jam, kita bisa mengunjungi tempart wisata lainnya di sekitar itu. Naik ke atas ke lembah Gunung Rinjani, kita dapat mengunjungi Hutan wisata Sesaot dan Suranadi. Jika turun ke selatan kita dapat mengunjungi Pantai Kuta yang tak kalah indahnya dengan Pantai Kuta di Bali.***[asepwp]

Ngga sabaran ingin menjelajah wisata budaya Pura Lingsar dan sekitarnya? Mulai dari sini !!

Related Post

Cari Artikel